Selasa, 16 Oktober 2012

Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia adalah bahasa kerja (working language).

Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun saat ini dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas penduduknya. Sebagian besar warga Indonesia berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Namun demikian, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di surat kabar, media elektronika, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.  Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.

Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Kerajaan Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu. Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara), para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti. Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900 Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Kajian linguistik terhadap sejumlah teks menunjukkan bahwa paling sedikit terdapat dua dialek bahasa Melayu Kuno yang digunakan pada masa yang berdekatan. Sayang sekali, bahasa Melayu Kuna tidak meninggalkan catatan dalam bentuk kesusasteraan meskipun laporan-laporan dari Tiongkok menyatakan bahwa Sriwijaya memiliki perguruan agama Buddha yang bermutu.

Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Alfred Russel Wallace menuliskan di Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang digunakan di seluruh Hindia Belanda." Selanjutnya, Jan Huyghen van Linschoten, di dalam buku Itinerario ("Perjalanan") karyanya, menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."

Kongres Bahasa Indonesia pertama telah menetapkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau, begitu pula dengan negara serumpun lain seperti Malaysia mengakui bahwa bahasa Melayu standar adalah bahasa Melayu Riau-Johor.

Minggu, 30 September 2012

FONOLOGI DAN BIDANG PEMBAHASANNYA


Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.

Bidang Pembahasannya

Fonologi mempunyai dua cabang kajian,

Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:

a)     fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

b)     fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.

c)      fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.

Kedua, fonemik yaitu  kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik

Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.

1.  Fonologi dalam cabang Morfologi

Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks   {-kan}.

2.  Fonologi dalam cabang Sintaksis

Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.

3. Fonologi dalam cabang Semantik

Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.

Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Bahasa

Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.

Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.

Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemis.